Apa yang membuat kita murka? Dimarah-marahin sama atasan padahal ngerasa gak salah apa-apa? Ditikung sama orang lain pas lagi sayang-sayangnya? Ditinggal nikah? Ditanyain kapan nikah kalau dateng ke kawinan atau acara kumpul keluarga?
Murka adalah ilusi. Silahkan mengumpat yang banyak, memarahi orang, atau mungkin lebih parahnya jotos-jotosan sampe salah satu jatuh dan bonyok. Lalu setelah itu apa? Dapatkah kita merasa menang selama-lamanya? Esok atau lusa rasa menang juga telah hilang kemana.
Saya mulai merasa kalau ada beberapa hal dalam hidup yang hanya menghasilkan ilusi, dan sepertinya saya harus benar-benar membuat tembok tinggi dan berjarak dengan itu semua.
Seberapa sering kita mengumpat ketika ada sepeda motor yang jalan seenak jidat? Seberapa sering kita berteriak kepada pengendara mobil yang jalan serampangan? Saya sering. Walau ada sedikit kelegaan setelah berteriak kepada mereka, namun sesaat kemudian sesal yang terasa. Muncul perasaan mengapa tidak memakluminya saja? Mungkin ia memang sedang terburu-buru ingin cepat sampai tujuan karena sakit perut yang tak tertahankan.
Terlalu banyak mulut yang berkata-kata di sekitar kita. Entah itu ucapan yang bermakna atau hanya umpatan sampah. Mengapa kita tidak menjadi pendengar yang setia saja? Dan hanya memberi saran ketika diminta.
Terkadang saya ingin sekali menjadi penonton dan pendengar saja, tidak vokal untuk kejadian yang terjadi. Namun media sosial membuat itu semua susah untuk direalisasikan. Biarkan mereka yang sok tahu berucap yang macam-macam, biarkan yang merasa selalu benar menyuarakan kebenaran menurut mereka, biarkan mereka yang serampangan di jalan seenak jidat, biarkan mobil yang melaju serampangan di jalan tanpa perlu kita mengumpat. Biarkan, dan jadilah penonton dan pendengar yang baik.
Tapi bagaimanapun murka adalah kodrat. Silahkan juga mengumpat yang banyak.
0 saran:
Post a Comment