Wahid Sabillah's

Personal Blog

Telunjuk

2 comments
Sore itu, aku duduk bersama tujuh orang teman lelaki di garasi mobil di rumahnya yang sengaja dikosongkan untuk acara perayaan ulang tahun. Garasi yang menghadap barat, sehingga cahaya jingga sang surya menyorot kami semua yang sedang duduk bersama. Beberapa piring berisi makanan dan beberapa gelas air minum disediakan sebagai teman perbincangan kita. Aku tau, acara bincang-bincang tidak jelas ini akan menghabiskan waktu berjam-jam, perbincangan yang kebanyakan berisi canda, tawa, dan olok-olok ini akan berlangsung hingga malam. Dan dugaanku benar.

Ada yang aneh dari dirinya, dia yang duduk tepat berhadapan denganku hanya memangku dagunya sambil menanggapi dengan singkat setiap pertanyaan yang di lontarkan untuknya. Seharusnya pada hari itu ia terlihat bahagia, karna beberapa jam lagi ia akan merayakan ulang tahun yang ke dua puluh lima. Aku tidak tau apa yang ia fikirkan, tak seperti biasanya ia muram, walau dalam pertemuan ia selalu diam dan tidak banyak bicara seperti teman yang lain, tetapi tidak pernah sekalipun kulihat ia muram ketika dalam pertemuan. 

Garasi tempat kami berkumpul berangsur gelap seiring dengan terbenamnya sang surya. Dia yang lima jam lagi akan berulang tahun menyalahkan tiga buah lilin dengan beda ukuran sebagai sumber penerangan kami di garasi itu. Malam itu aku resmi menjadi seorang wanita di tengah delapan lelaki dengan penyinaran lilin. Jangan dibayangkan suasana di garasi itu romantis, suasana di garasi malam itu lebih mirip sebagai tempat orang gila main judi karna beberapa orang dari kami sedang bermain remi sambil berteriak dan terbahak-bahak.
“Kenapa?” aku bertanya kepada dirinya.

“Gapapa,” dia melepaskan pangkuan di dagunya dan duduk tegap “emangnya kenapa?” pertanyaan yang dilontarkan kembali untukku.

“Kamu sakit?” aku kembali bertanya kepadanya. Dan dia hanya menggeleng untuk pertanyaanku itu.

Kami berdelapan adalah teman sewaktu SMA, selama dua tahun kami berada di satu kelas untuk belajar. Aku, dan dia adalah teman sebangku, dan yang lain adalah teman bermain sehari harinya dikelas dulu. Sekarang ketika mereka sudah terpisah dari kelas, mereka masih selalu bertemu setiap minggu untuk olahraga main bola bersama, dan aku masih sering mengirimkan surat elektronik atau pesan singkat untuk berbincang atau sekedar menanyakan kabar kepadanya.

Dia berdiri menghampiri sekelompok teman yang sedang bermain remi, berusaha menghindar dariku yang sedari tadi memperhatikannya. Aku tau, ada yang salah dari dirinya, tapi aku tidak tau sesuatu yang kurang itu apa. Sampai pada akhirnya…

Seorang teman yang sedang bermain remi berteriak ke arah teman yang lain “Ada yang belum bisa pindah ke lain hati” sontak aku menengok ke arah sumber bunyi itu, teman-teman yang bermain remi terbahak-bahak.

“Gak gampang untuk pindah” ucapan dari mulutnya bagai aba-aba tanda diam untuk teman teman yang sedang terbahak-bahak. Itu adalah pernyataan pertama yang keluar dari mulutnya setelah beberapa kali hanya menjawab pertanyaan dari teman-temannya yang dia jawab dengan singkat. “Kalian tau gak, seberapa susahnya untuk pindah ke lain hati. Seberapa sulitnya untuk melupakan orang yang memang benar-benar kita sayangi” pernyataan kedua dari dia yang akan ber ulang tahun malam ini. “Mungkin bagi sebagian dari kalian pindah itu gampang, tapi beda untuk sebagian lainnya” pernyataan ketiga darinya hari itu. 

Dia kembali duduk di hadapanku, menceritakan kepadaku tentang kekasihnya yang seminggu lalu putus kemudian memilih ikut orangtuanya bekerja untuk pindah ke lain benua, dan itulah alasan yang membuat dirinya muram hari ini. Aku memandangnya dengan perasaan terkejut, dua tahun aku duduk sebangku dengannya, dan sering aku mengirimkan surat elektronik dan pesan singkat kepadanya, tetapi baru kali ini dia berani bicara tentang cinta. Karna itulah aku tidak berani mengungkapkan rasa cinta ini kepadanya, rasa yang telah tumbuh semenjak dua tahun aku duduk sebangku bersamanya sewaktu SMA. Rasa yang terus berkembang, melebur, meluber, dan melebar bersama kiriman surat elektronik dan pesan singkat yang aku kirimkan kepadanya.

Dua lilin dari garasi itu mulai mencair dan hilang cahaya. Tinggal satu lilin di meja yang berada tepat di antara aku dan dia. “Aku juga pernah merasakan susah pindah” Kali ini aku putuskan gantian bercerita kepadanya. “Dengan orang yang sudah lama kukenal, tetapi aku tidak berani mengutarakan kepadanya,” dia mengernyitkan dahi mendengarkan cerita pendekku itu. “Rasanya susah untuk pindah dari orang yang berhasil membuat kita nyaman.” Dia tersenyum kecil kala mendengar ucapanku itu. “Bagiku hanya dengan melihatnya tersenyum sudah cukup untuk menafkahi rasa cintaku yang tidak berani aku utarakan.”

“Siapa orang itu?” dia bertanya kepadaku dengan antusias.

Aku hanya tersenyum.

Lilin di depanku dan di depannya mulai habis sumbu, matanya memantulkan cahaya lilin yang meredup. Kutunjuk dirinya dengan telunjuk yang kuletakan diatas meja sebagai isyarat kalau itu adalah dirinya, bersamaan dengan itu cahaya lilin terakhir itu padam, muncul teriakan dari teman-teman yang bermain remi, dan muncul juga bulir air di sudut mataku.

***

Aku harus pulang, aku pamit duluan dengan teman-teman dan dirinya.

Tengah malam, kukirimkan pesan singkat berisi ucapan selamat ulang tahun kepadanya. Dia membalas dengan ucapan terimakasih dan menanyakan kembali tentang orang yang kuceritakan tadi. Pesan itu aku balas dengan gambar telunjuk, dan sepertinya dia tidak mengerti. 

Aku tau apa yang kupendam bagi sebagian orang salah, tetapi tentu masih ada sebagian orang yang merasa apa yang kupendam itu benar. Benar dan salah adalah relatif, terlebih dengan cinta ini.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments:

  1. keren ceritanya, gw suka pemilihan kata-katanya kayak "Dua lilin dari garasi itu mulai mencair dan hilang cahaya"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih sudah berkunjung. Lagi belajar memilih kata yang bagus buat cerita. Saya masih harus belajar banyak dari tulisan orang-orang lain.

      Delete