Wahid Sabillah's

Personal Blog

Pergi

6 comments
Semalam, aku pulang larut dari kantor karena menunggu hujan. Sudah kutunggu hingga pukul sepuluh malam, tetapi hujan tidak kunjung reda. Karna jas hujanku seminggu yang lalu hilang, terpaksa aku pulang dengan hujan-hujanan, tanpa memperdulikan tubuhku yang rentan terkena flu.

Benar saja, sesampainya aku di rumah. Badanku terasa tidak enak, kepalaku pusing, dan aku terus menerus bersin-bersin. Malam itu hujan tambah deras, dengan suara gemuruh yang terus menerus bersaut-sautan. Ku tenggak obat flu yang biasa aku minum, berharap flu ini reda esok paginya, kemudian aku bergegas istirahat.

Dalam kondisi demam karna flu yang semakin menjadi-jadi, malam itu aku bermimpi melihat cahaya putih, yang kemudian cahaya putih itu menghampiriku, masuk ke dalam dadaku, tubuhku kejang dan beberapa saat reda. Dadaku terasa hangat, sesaat aku terbangun dan menyadari kalau hari sudah pagi.

Pagi itu, dengan masih terkena flu, aku paksa diriku pergi ke kantor untuk bertemu denganmu terakhir kalinya. Setelah menjadi teman kerja selama empat tahun, hari itu kamu yang mejanya bersampingan dengan meja kerjaku akan pindah karena merasa waktumu di kantor itu sudah kadaluarsa. Bukan karena kamu tidak berprestasi, kamu menjadi employee of the month beberapa kali. Pindah ini lebih karena kamu ingin menemui tantangan yang baru.

Hari itu, aku membantu merapikan sisa barang yang ada di meja kerjamu yang akan kamu tinggalkan sebentar lagi.

“Sudah mantap mau pindah?” Pertanyaan itu kembali terucap. Sudah sering pertanyaan itu aku tanyakan kepadamu, dan jawabanmu selalu sama, “Waktuku sudah habis di kantor ini”

Ingin rasanya aku cegah supaya kamu tidak pindah, tetapi seberapapun aku merengek kepadamu agar tidak pindah, aku yakin sembilan puluh sembilan persen, kamu tidak akan mengubah keputusanmu untuk pindah. Kamu adalah oase saat hariku kering karena kerjaan yang tidak habis-habisnya. Kamu adalah air yang menyegarkan hariku saat deadline membuat kepalaku panas, dan kamu satu-satu nya alasan mengapa aku datang ke kantor hari ini dengan kepala pusing, dan hidung ber-ingus karna hujan semalam.

Ada sesuatu yang tak pernah berani aku nyatakan kepadamu, betapa aku menyukaimu, dan betapa aku bergantung kepada dirimu. Seminggu ini aku lebih sering memperhatikanmu bekerja lebih dari biasanya. Seminggu ini, aku pergi makan siang bersamamu lebih sering dari biasanya. Seminggu ini aku resapi dalam-dalam kehadiranmu, aku sadar tidak lama lagi kamu akan pergi dan kita akan susah bertemu lagi.

“Sudah selesai, saatnya aku pamit kepada teman-teman semua,” katamu setelah memasukan buku terakhir yang ada di meja kerjamu kedalam kardus yang kemudian kamu tutup dengan selotip. kamu menghampiri satu persatu teman-teman di ruangan itu. Aku memperhatikanmu mengucapkan selamat tinggal kepada mereka semua. Terakhir, kamu menghampiriku, menjabat tanganku, dan memeluk diriku dengan erat, hangat menjalar ke seluruh tubuhku. Aku canggung, pelukan itu adalah pelukan pertama dan sekaligus terakhir yang kita lakukan. Empat tahun bersama, membagi canda tawa, suka dan duka, hari itu aku merasa sebagian dari diriku akan hilang. Kamu melepaskan pelukan itu, dan aku menemui dirimu dengan pipi yang basah karna air mata “Aku pergi ya” kata yang terucap dari mulutmu kala itu.

Empat bulan setelah kepindahan dirimu, kita tidak pernah bertemu. Hari-hari ku tidak seperti waktu ada dirimu, oase itu telah pergi, entah dimana kamu sekarang. Setiap kerjaanku masih banyak, aku berusaha mengingat senyummu yang menyemangatiku, dan aku tidak pernah berhasil merasakan teduhnya senyummu saat kamu benar-benar ada di dekatku.

Hari itu aku sangat merindukanmu, sepulang kerja aku sambangi tempat makan siang kita terakhir kali empat bulan yang lalu. Kursi rotan dengan meja marmer putih yang ada di dekat kolam ikan di tempat makan itu adalah tempat favoritmu. Katamu kamu bisa menghabiskan waktu tanpa suara hanya dengan mendengar suara gemericik air dari pancuran yang ada di kolam itu sambil memandang ikan-ikan Koi yang berenang, dan aku bisa memandang wajahmu sepuas-puasnya kala kamu mendengar suara gemericik air kolam sambil memandang ke arah kolam itu. Teringat perbincangan terakhir kita di tempat itu, tentang alam yang punya cara sendiri untuk memberi berita, tentang bahasa yang bukan diucap tetapi dirasa, tentang kamu yang sering mendengar suara yang jauh saat bangun tidur, tentang firasat yang semakin hari semakin mengkuat. Rinduku semakin menjadi-jadi malam itu.

Aku pulang ke rumah dan sampai di depan pintu. Ku lihat ada amplop dengan perangko yang terselip di bawah pintu. Tertulis untuk Kevin yang berarti namaku dari Kayla yang berarti namamu. Cepat ku buka surat itu, ku temui tulisan tangan yang aku kenal, tulisan tangan dirimu. Surat itu berisi tentang dirimu yang akan pergi meninggalkan kota ini untuk ke kota lain untuk bekerja. Kamu dipromosikan menjadi manajer di salah satu cabang kantor tempat dimana kamu bekerja sekarang. Kamu memberitahukan kalau besok adalah hari dimana dirimu akan pergi, jadwal penerbangan pertama, sial nya besok pagi aku ada rapat dengan klien yang tidak bisa ditinggal.

Malam itu, aku kembali memimpikan hal yang terjadi empat bulan yang lalu saat aku pulang dari kantor hujan-hujanan kemudian flu. Cahaya putih yang terang masuk kedalam diriku melalui dadaku, aku kejang, lalu sesaat rasa hangat menjalar keseluruh tubuh. Aku terjaga, tetapi waktu itu masih jam setengah lima pagi. Ada yang aneh dalam diriku, aku tidak tahu apa yang terjadi, aku bisa mendengar suara yang jauh, aku bisa membaui parfum nya pada saat itu juga. Semua inderaku menjadi tajam, aku terkejut sekaligus takut akan diriku sendiri.

Selama bertemu klien aku gundah, langit cerah tiba-tiba menjadi gelap, angin bertiup sangat hebat, merobohkan pohon yang ada di depan café tempat dimana aku dan klien bertemu. Sesaat aku mendengar suara lirih darimu, membaui parfum dirimu. Kilat menyambar-nyambar di langit pagi itu, tolong… aku takut dengan semua ini, aku takut menjadi peka. Seseorang yang tidak pernah mengalami pengalaman seperti ini menjadi sangat peka di kala orang yang disayangi akan pergi. 

Kulihat acara breaking news di teve di café itu. Ada berita duka, pesawat terbakar kala mendarat, tersentak aku bangun dari tempat dudukku, meninggalkan klien dan menghampiri teve untuk melihat dengan jelas berita itu. Aku berdoa semoga bukan pesawat yang ditumpanginya, semoga bukan pesawat yang ditumpanginya, semoga bukan pesawat yang ditumpanginya. Keringat dingin membanjiri badanku, badanku gemetar, kemudian aku mendengar kembali suara lirih darimu “Aku pergi ya” bersamaan dengan wangi parfum dirimu yang semakin terasa.

Ditulis setelah membaca Firasat nya Dee
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

6 comments:

  1. Gue sesekali merinding baca tulisan ini, sedih.

    ReplyDelete
  2. Tulisannya ala-ala Dee banget. Keren kak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dee salah satu kiblat cara penulisan saya. Jujur, saya malah takut kalau tulisan ala-ala Dee ini berkelanjutan, takut tulisan saya malah seperti Dee Wannabe, dan tentu saya tidak akan pernah bisa menulis seperti Dee.

      Delete
  3. Cerpennya bagus, tetapi jadi sedih bacanya
    kapan bisa nulis sebagus ini ya ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah biasa saja mbak, saya juga masih terus belajar supaya bisa menulis bagus kok. Terimakasih ya Mbak sudah mau mampir.

      Delete