Wahid Sabillah's

Personal Blog

Hutang, Janji

2 comments
Hari itu, saya kembali satu meja bersamamu. Disebuah tempat yang sudah kita setujui untuk bersua, membayar hutang lebih tepatnya. Ritual bayar hutang yang seharusnya simpel dan sederhana menjadi suatu ritual sakral dihari itu. entah ada berapa banyak manusia di dunia ini yang membuat suatu penebusan hutang menjadi ritual yang sakral dan berkesan, mungkin hanya kita. 

Kamu duduk dihadapan saya, berbasa basi dan saya tidak pernah melewatkan setiap kata dan kalimat. Setiap suku kata yang keluar darimu adalah candu, setiap gerak tanganmu adalah tanda yang harus saya ingat. 

Kita bertukar cerita, kamu menceritakan tentang grup musik yang kamu buat dan baru mendapatkan personil baru. Seorang yang sebenarnya saya sudah tau, tanpa harus kamu beritahu. Seorang yang beruntung mendapatkanmu, memilikimu, dan pasti seorang yang namanya akan memenuhi catatan harianmu. Seorang yang akan merasa bahagia, gembira diberikan hasil tulisanmu, karna saya pernah menjadi salah seorang yang kamu beri tulisanmu itu. 

Saya menceritakan tentang pengalaman saya, pengalaman yang sudah tidak dapat sesering dulu saya bagi bersamamu, beberapa bulan itu. tentang jalan panjang yang mengerucut di depan, tentang orang buta yang meminta bantuan dengan orang buta, yang seharusnya orang buta itu meminta bantuan dengan orang tuli agar masalahnya selesai.

Kamu mendengarkan cerita yang saya suarakan, dengan seksama dengan tangan yang dilipat diatas meja dan sesekali memberikan respon walau Cuma “oh” atau “ooooooh”. Sampai pada akhirnya kita membahas tentang topik yang sentimentil yang sekuat kuatnya topik itu kita tahan, dia akan lebih kuat dan memaksa menyeruak keluar. 

Sampai saat ini saya tidak tau mengapa topik se sentimentil itu menyeruak keluar ditengah penyembuhan hati kita masing masing, walaupun terus kita tekan. Seakan kita selalu bersedia untuk disakiti, dikorek kembali, atau berlinang air mata lagi. Dan saya juga tidak pernah mengerti, mengapa kita selalu terbuka untuk mendengarkan keluh kesah masing masing, seakan topik itu tidak pernah basi dan terus bereinkarnasi. 

"jadi gimana? Udah dapet? Mau aku bantu cariin?” seketika kata kata itu keluar dari mulutmu. 

Rahang saya mengencang, rasa sakit lama kembali menjalar keseluruh tubuh. Sakit yang harus saya nikmati, disana, ditempat kita duduk dan bersua. Senyum pahit yang saya buat semanis mungkin terpaksa saya kerahkan untuk menutupi sakit saya yang kembali menyembul keluar. 

Kita terdiam, cukup untuk satu lagu yang diputar di tempat itu selesai. saya tidak pernah secanggung itu bersama kamu, dulu. 

“apa mau dicomblangin? Kayak kerjaan aku waktu dulu” 

Dan lagi saya hanya tersenyum, kata kata itu semakin membuat saya kembali meringis. Saya benci harus mendengar lagi tentang comblang comblangan. Comblang comblangan yang pernah membuat saya sakit sewaktu belum memilikimu, rencana kamu untuk mencomblangi salah seorang client mu, harus berakhir dengan keterikatanmu dengannya, untungnya tidak untuk waktu yang lama. 

Suasana di tempat itu berubah menjadi biru. Lagu yang diputar di tempat itu tambah menghanyutkan kita untuk kembali mengenang masa lalu. Sadar atau tidak kita mulai menceritakan secuil demi secuil, secungkil demi secungkil kenangan kita dimasa lalu, yang seharusnya sudah kita kubur, tapi hari itu kita gali dan kita bicarakan lagi. 

“seharusnya emang gausah ada janji ya sewaktu itu.” lisan saya diluar kendali mengucapkan kata kata itu. 

Kamu menenggelamkan badanmu di kursi itu, mulai memandangiku dan raut wajahmu berubah. Ah saya benci melihat raut wajahmu berubah, raut yang sama ketika hari terakhir kita bertemu sebelum hari itu. 

“kenapa?” 

“iya, untuk apa dulu kita ngebuat janji yang gak pasti? Janji yang kemungkinan besar kita bakal ingkarin, dan sekarang itu terbukti.” 

Bersamaan dengan kalimat itu kenangan tentang pengikraran janji kita, jabatan tangan kita, dan pengaminan janji kita menyeruak keluar memenuhi isi ruangan itu. pengikraran, penjabatan tangan tanda setuju, pengaminan yang nyatanya tidak terkabul, seharusnya semua itu tidak usah kita lakukan pada waktu dulu. 

Sesudah kalimat itu tidak ada lagi kata yang keluar dari mulut kita masing masing. Kita saling berdiam diri, tidak berani saling beradu pandang, kamu gelisah, dan hati saya sudah bersimbah darah. Kamu beberapa kali melihat jam di tanganmu. 

Langit disekitar tempat itu seketika menghitam, langitpun merasakan sendu. Suara gemuruh mulai terdengar dari tempat itu. kamu bangkit dari tempat dudukmu, meminta izin untuk pulang karna takut kehujanan. 

Saya melihatmu tidak seperti yang lalu, kamu tidak kembali membalikan badan ke arahku. 

Saya terus memperhatikan langkahmu.... 







...Terus Menjauh.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments:

  1. Ada bagian yang kurang menjelaskan logika cerita. Mungkin akan ada yang bertanya, jadi tokoh utama akhirnya dengan tokoh yang mana? Tapi aku suka ceritanya, manis. Hihi :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih mbak Funy masukannya. Terimakasih bangeeeeet udah mau mampir :)

      Delete